Monday, October 29, 2018

MARRIAGE: A Lifetime Lesson



Di postingan ini saya sama sekali tidak bermaksud menggurui. Yang akan saya sharing adalah apa yang saya rasakan, pengalaman dari orang-orang terdekat saya, dan pelajaran-pelajaran yang saya baca dari cerita orang lain.

Sebagai seorang Ibu baru, pasti mempunyai anak adalah salah satu pengalaman menyenangkan untuk saya. Dan yang pasti membuat hampir sebagian besar waktu, tenaga, dan pikiran bahkan hati saya tercurahkan untuk anak saya, yang kebetulan juga lahir prematur. Artinya apapun itu yang saya berikan harus ekstra. 

Tidak usah diceritakan ya bagaimana awal-awal pada saat anak saya lahir dan sudah kembali ke rumah. Saya butuh waktu untuk menyesuaikan, bahwa ada manusia baru di hidup saya (dan suami saya) yang menjadi amanah kami, yang sudah kami tunggu-tunggu kedatangannya. Saya benar-benar sangat fokus pada anak saya. Sampai suatu saat saya tertampar, saya melihat tulisan di Instagram.


Inti dari isi tulisan tersebut adalah jangan sampai menjadi seorang Ibu membuat saya lupa bahwa saya juga seorang Istri. Hal ini yang akhirnya sampai sekarang menjadi pengingat saya, bahwa saya juga punya suami yang harus saya jaga.

Saya juga pernah membaca tulisan dan saya sampaikan ini berkali-kali kepada suami saya, sebagai pengingat kami, karena pasti kami juga sering lupa. Saya selalu bilang "Hubungan dengan partner hidup itu lebih utama daripada hubungan dengan anak. Kita harus punya hubungan yang berkualitas. Tapi, sekarang karena Radit masih kecil, belom ngerti apa-apa dan belum bisa memilih, kita yang bertanggung jawab atas itu, kita masih harus mengutamakan dia."

Bukan berarti dengan saya bilang seperti itu lalu suami saya nomor duakan, atau saya minta suami menomorduakan saya. Tapi omongan seperti itu selalu menjadi pengingat bagi saya, dan untuk mengingatkan suami. Menurut saya, bukan hanya karena dalam agama kami memang mewajibkan seperti itu. Tapi ada alasan masuk akal lain. Pemikiran inipun saya pernah baca di suatu sumber yang saya lupa, tapi bagi saya masuk akal.

Kualitas hubungan dengan pasangan harus benar-benar baik, harus sangat baik. Mengapa? Karena pasangan yang akan menemani saya seumur hidup. Seumur hidup. Saya tidak boleh menutup mata dan fakta bahwa nantinya, anak(-anak) saya pasti akan memiliki kehidupan sendiri dan tidak tinggal dengan saya. Pasti akan ada waktunya hal itu datang dan membuat saya sedih. Tapi, tidak boleh saya memungkiri itu. Saya pun dulu tidak dilarang ayah saya saat saya memutuskan untuk kuliah di luar kota untuk merantau, waktu itu saya berusia 16 tahun, dan harus menjalani hidup sendiri di tanah rantau. Di situ ayah saya memberikan pelajaran, bahwa biarkan anakmu memiliki mimpi yang besar, jangan dihalangi, walaupun harus tega tinggal berjauhan. 

Sekarang pun saya dan suami masih belajar. Tapi bagi saya, hal terpenting sudah kami lakukan. Yaitu, MENYADARI bahwa kualitas hubungan kami harus bagus hingga selamanya dan bahwa kami adalah nomor satu untuk satu sama lain. Buat saya, dengan sadar bahwa hal tersebut itu penting, akan mempermudah kami untuk belajar ke level yang berikutnya.

Beruntungnya saya karena memiliki contoh nyata di hidup saya. Jika saya perhatikan dengan lebih dalam, ayah dan ibu saya secara tidak sadar telah menerapkan hal tersebut. Ibu saya SELALU mengutamakan kepentingan ayah saya di atas kepentingan saya dan adik saya, bahkan cucunya. Menurut saya bukan hal yang jelek ya, selama kepentingan saya atau adik saya masih bisa kami kerjakan sendiri dan masih ada alternatif lain dan bila pada saat yang bersamaan ayah saya butuh kehadiran ibu saya, ya kami berdua sudah default  mengerti. Bahkan ayah dan ibu saya sudah di tahap ga bisa kalo lama-lama berjauhan. Ayah saya terutama sih, walaupun terlihat tegas di luar, beliau tidak bisa lama-lama kalau musti berjauhan dari Ibu saya. Makanya, kalau Ibu saya mengunjungi saya sendiri di Jakarta, pasti tidak lama. Walaupun kadang-kadang Ibu saya ngomel karena masih kangen sama cucunya, secara tidak sadar mereka memiliki kualitas hubungan yang benar, paling tidak menurut saya.

Saya bahkan pernah hampir tidak pulang ke Surabaya karena pekerjaan padahal ayah saya sedang operasi karena serangan jantung. Ayah dan Ibu saya saat itu tidak memaksa saya untuk pulang, tapi saya kepikiran selama di kantor. Akhirnya bos saya mengizinkan saya untuk pulang dan saya langsung beli tiket pesawat untuk hari itu juga. Point nya adalah, bahwa mereka bisa menghadapi kehidupan berdua.

Ini baru satu point yang saya baca dan saya harap bisa terapkan di hidup saya dan suami saya. Sayapun masih belajar. Masih banyaaaaaaakkkkkkkkk sekali pelajaran pernikahan yang saya masih super cupu banget. Kadang saya pun bingung, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan di otak saya dan saya menuntut jawaban masuk akal, yang belum saya temukan dari siapapun. Hahahahaha namanya manusia pasti tidak akan pernah puas ya.






No comments:

Post a Comment