Beberapa hari yang lalu saya melihat video di IG Story,
isinya tentang seorang Ibu yang sedang bersikap keras/tegas pada anaknya dengan
tidak memberi makan anaknya pada jam makan karena anaknya telah mencuri uang
(yang jumlahnya tidak banyak) dari dompet ibunya, kurang lebih seperti itu yang
saya tangkap. Yang menarik adalah, keluarga di sekitar (saat itu kondisinya
sedang makan bersama, dan sang Ibu menyiapkan makanan untuk semua keluarga)
menentang dan mencibir habis-habisan apa yang dilakukan oleh sang Ibu.
Kebanyakan adalah anggota keluarga yang lebih tua. Mereka berkata “Kenapa kau
melakukan itu? Dia hanya mengambil sedikit uang, dan bahkan itu bukan uangmu?
Kemari Nak, sini kuberi kau makan.” Intinya berbagai pernyataan yang menentang
apa yang dilakukan sang Ibu, menyalahkan, membela apa yang dilakukan sang anak
dengan mengatakan bahwa hal tersebut bukan masalah, membenarkan perlakuan sang
anak, merasa paling benar dan melakukan apa yang mereka anggap benar.
Sounds familiar Mom?
Saya kurang lebih pernah lah, bahkan masih terkadang diperlakukan
seperti itu. Kalau orang tua sendiri masih bisa saya balikkan pernyataannya
dengan informasi atau ilmu yang saya tahu, lebih tidak sungkan dan orangtua
saya pun termasuk santai, jadi ya kalau sumbernya jelas mereka bisa menerima.
Kalau mertua mungkin lebih sungkan juga ke saya, jadi jika ada yang ingin
disampaikan beliau menyampaikan sebatas masukan ke saya. Yang terkadang saya ga
habis pikir, udah bukan orangtua, bukan mertua, bukan keluarga, main komentar
dan merasa paling benar, lalu menyalahkan apa yang saya lakukan. Saya cuma balas
tersenyum saja, sebagai bentuk menghormati tapi masukan Anda yang tidak berdasar
jangan harap akan saya terima J
Lanjut ya, poin yang ingin saya bahas adalah mengenai
penerapan disiplin pada anak. Saya adalah anak sulung dari 2 bersaudara dan
perempuan semua. Dari kecil perlakuan orang tua ke saya dan adik saya sangat
berbeda. Maksudnya, kami berdua memiliki sifat yang jauh berbeda, jadi jelas
perlakukan yang kami terima pun berbeda. Dulu saya merasa ini tidak adil, tapi
semakin besar saya lebih mengerti. Saya tipe orang yang meledak-ledak kalau sedang
marah, lebih ekspresif menyangkut emosi, ngotot, tapi 5 menit kemudian reda
banget seakan lupa kalo abis marah, cuek, I’m super ignorant of what people
think, cenderung keras, more realistic than idealistic, I’m super Leo. Sedangkan
adik saya super Gemini. Kalo marah selalu di pendam, bisa sampe ga ngajak
ngomong orang seminggu, penampilan harus sama warnanya, sangat tidak bisa
dimarahi. Saya dididik kurang lebih seperti anak laki-laki pada jamannya, kalo
saya minta sesuatu tapi tidak ada gunanya, ya tetap tidak dikasih, mau saya
nangis-nangis atau guling-guling, gabisa ya gabisa. Kalo saya belajar, harus
hapal, harus mengerti, kalau ditanya dan gabisa jawab, harus ulang baca 1 buku dari awal sampai akhir.
Dan dimarahi tentunya hahaha. Pas jaman SMA, saya pernah ikut seleksi untuk
masuk ke kelas Internasional dan saya tidak lolos, itu rasanya kayak dosa besar
banget sama orang tua. Waktu SD-SMP saya harus ranking di kelas. Kalo nilai
lagi turun, lalu ditanya “Apa yang membuat dia bisa dan kamu gabisa?”
Sebenarnya kalau jawabannya masuk akal, pasti orang tua saya terima. Lalu
orangtua saya akan lebih melihat proses yang saya lakukan, kalo seandainya saya
sudah belajar sampai malam tetapi hasil yang saya dapatkan belum maksimal, ya
mereka tidak akan marah, karena mereka tau sudah semaksimal apa saya berusaha.
Sampai saat ini, dua hal tersebut (dari banyak hal lain) yang menjadi pegangan
saya untuk hidup. Pertama, (kalau saya menginginkan sesuatu dan orang lain
memilikinya, misal orang lain lebih sukses) apa yang bisa dia lakukan yang saya
tidak bisa? Kedua, menyadari bahwa berusahalah semaksimal mungkin akan sesuatu,
semaksimal mungkin dan sebaik mungkin, sehingga tidak ada celah orang lain
untuk menyalahkan apa yang saya lakukan dan bagaimanapun hasilnya saya tidak
akan menyesal karena saya sudah mengerahkan segala kemampuan yang saya punya.
Di sisi lain, saya menyadari bahwa disiplin/tegas/kerasnya
orangtua saya (dalam hal ini ayah saya) jauh sekali dibandingkan kerasnya
kehidupan (serius loh ini). Mereka mengajari saya bahwa hidup ini keras, kita
tidak bisa merubah orang lain, kalau ingin suatu kondisi berubah yang bisa kita
ubah hanya diri kita sendiri. Untuk bertahan, kita harus mengerjakan sesuatu
sebaik mungkin, push my self to my limit.
Begitu saya menikah dan punya anak laki-laki, saya mau anak
saya bisa bertahan hidup dan siap dengan dunia yang keras ini, terutama saat
dia hidup tidak lagi dengan saya. Saya harus menerapkan beberapa hal dan sekonsisten
mungkin agar tujuan saya bisa tercapai.
Ada beberapa hal kecil yang sudah mulai saya terapkan ke
Radit, hanya tinggal konsistensi saya yang harus dipertahankan. Misalnya,
masalah carseat. Melatih Radit mau duduk di carseat hingga saat ini bukan hal
mudah. Ada masa-masa dimana Radit nangis di carseat dan minta diturunkan, ini
saya harus putar otak gimana caranya dia jadi tenang lagi. Kalau dulu masih
bayi (sekarang juga masih bayi sih haha) Radit belum semengerti sekarang, jadi
saya harus pakai cara yang bisa “membujuk”. Dari mulai nyanyi-nyanyi dari
berangkat sampai sampai ke tempat tujuan (ini pas kalo cuma bersda Radit
perginya), nyalain youtube dari yang saya kasih lihat videonya sampai cuma musiknya
aja, kasih snack, kasih susu, semua saya lakukan. Kalau sekarang kan Radit
sudah lebih mengerti, dan sudah lebih kelihatan kalau nangis beneran atau Cuma acting
aja. Nah, kalau sekarang, kalau nangis kebanyakan Cuma caper atau pura-pura
aja, jadi kalau saya cuekin aja, lama-lama dia akan diam sendiri, sambal saya
sounding “Radit kalau di mobil duduknya di carseat.” Permasalahan lain adalah
tidak semua orang sudah tau pentingnya carseat. Awal menggunakan carseat, kalau
ada orang lain yang ikut kami, kebanyakan merasa “kasihan” kalo Radit di
letakkan di carseat. Padahal sebenarnya jauh lebih kasihan kalo Radit ga di
carseat. Dulu, nenek-neneknya Radit selalu ambil Radit dari carseat. Lalu saya
dan suami ngotot dan memberi tahu bahwa kami mau Radit kalau di mobil
diletakkan di carseat. Lama-lama kondisi bahwa Radit kalau di mobil harus di
carseat sudah bisa diterima semua keluarga. Karena sekarang, kalau Radit tidak
diletakkan di carseat dan ada yang ngotot mau gendong Radit, silahkan menikmati
akibatnya sendiri (karena sudah pasti Radit tidak bisa diam hahaha kalau di
carseat dijamin anteng). Buat saya yang penting konsisten duduk di carseat,
supaya Radit tau bahwa “Oh kalo naik mobil ya duduk di carseat.”
Contoh lain ya tentang disiplin, buat saya ini penting untuk
pembentukan karakter Radit. Kalau dia jatuh/kepentok/kecepit/dll, saya TIDAK
PERNAH menyalahkan hal lain entah tembok/jalan/pintu/orang lain. Instead of
saying “Oh nakal ya temboknya” saya Cuma bilang “Sakit ya, sakit atau kaget
Radit? Iya Radit jatuh soalnya tadi tidak hati-hati/Radit kecepit karena mainan
pintu/Radit kepanasan Karena kena magic jar panas, makanya hati-hati ya.”
Sambil saya peluk dan elus-elus bagian yang sakit. Saya juga tidak pernah kaget
kalau Radit jatuh/dsb. Kalau orang lain yang belum mengerti, kalau lihat Radit
jatuh/kepentok pasti kaget dan Radit langsung nangis. Seringnya Radit nangis
karena kaget mendengar orang lain kaget, bukan merasa kesakitan. Kalaupun
sakit, jarang sekali nangisnya bertahan lebih dari 5 menit. Hasilnya, sekarang
Radit tau kalau turun kursi/meja/kasur harus hati-hati, harus bagaimana
posisinya agar tidak jatuh, kalau turun jalan yg tidak rata dia pelan-pelan
turunnya, sudah tidak buka magic jar karena pernah kena panasnya. Hal ini
berkaitan dengan sifat dia kelak. Saya tidak mau menjadikan Radit pribadi yang
menyalahkan external factors instead of dirinya sendiri jika suatu hari ada hal
yang tidak diinginkan terjadi. Saya mau dia berkaca dulu apa yang telah dia
lakukan, apakah benar atau tidak, tanpa menyalahkan pihak lain. Juga mengajari
Radit bahwa apa yang dia lakukan ada konsekuensinya dan harus dia terima. Kalau
lompat-lompat ya bisa jatuh, kalau main magic jar ya bisa kena panas, kalau
main di bawah meja ya tidak bisa berdiri karena bisa kepentok. Saya pun tidak
pernah melarang Radit menangis. Setiap Radit nangis, saya tidak pernah berusaha
menghentikan dengan “Ssst udah udah cup cup cup”. Saya membiarkan dia marah,
kesal, sedih, dan membiarkan dia merasakan emosinya. Kalau sudah cukup lama
saya cuma bilang “Sudah nangisnya?” Biasanya Radit nangis tidak pernah lebih
dari 5 menit, kecuali untuk beberapa hal seperti kalau pas bangun tidur kondisi
dia masih ngantuk dan tidak ada orang, dia bisa sekesal itu dan nangis lama.
Tujuannya apa? Supaya dia realize and feel all the emotions. Supaya dia tau
bahwa saya tau dia sedih dan tidak apa-apa sedih, supaya tidak ada yang
dipendam atau ditumpuk dengan pengalihan saat dia menangis.
Sekarang di umur Radit yang menginjak 20 bulan, sudah hampir
tidak pernah bangun malam untuk minta susu. Ini juga bukan dalam satu malam
usahanya. Saya mulai pelan-pelan. Sebenarnya dari sebelum umur satu tahun,
Radit sendiri Cuma bangun sekali di malam hari. Saya memanfaatkan kesempatan
itu untuk pelan-pelan mengajari dia untuk tidak minum susu di malam hari. Saya
mulai dengan “memberi tahu” Radit bahwa malam hari waktunya tidur dan bukan
waktunya minum susu. Caranya? Di malam hari saat Radit bangun dan menangis, I
give him “pause” to know if he really wants milk or not. Sekitar 5-10 menit
saat dia bangun dan menangis di malam hari saya Cuma puk-puk aja. If the
puk-puk works well dia akan kembali tidur tanpa minum susu. Tapi kalau
nangisnya makin kejer lebih dari 10 menit, baru saya kasih susu. Sekarang, saya
dan bapaknya sudah tidak pernah menyiapkan susu untuk tengah malam, karena
kalau Radit bangun hanya minta peluk saja. Ini jadi PR saya selanjutnya karena
saya mau ajarin Radit untuk tidur sendiri.
Kedisiplinan yang mau kami terapkan bahkan tidak jarang
bertentangan dengan keluarga. Makanya, dari awal menikah saya tidak mau tinggal
serumah dengan orang tua, bahkan dengan orangtua saya sendiri (orang tua
sendiri seringnya lebih tidak sungkan untuk menentang anaknya kan?), supaya
terhindar dari pertentangan macam ini.
Alasan saya sederhana:
- Menyiapkan Radit untuk siap menghadapi kehidupannya kelak
- Mengapa sedini mungkin? Saya mau masuk ke unconscious mind Radit, buat saya lebih mudah daripada nanti saat Radit sudah bisa memilih dan menolak, sehingga saya bisa menjadikan beberapa hal menjadi kebiasaan Radit dari kecil.
- Mengajarkan pada Radit bahwa tidak semua orang akan melakukan apa yang kita inginkan dan tidak semua orang bisa menjaga perasaan kita.
- Semua hal dimulai dari diri sendiri. Lihat diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain.
Tapi hidup tidak seindah dongeng, pasti masih banyak waktu
dimana Radit tidak bisa dikasih tau sekali, dua kali, tiga kalo, bahkan berkali-kali juga dia masih belum mengerti. Ya memang harus
terus-terusan. Waktu dimana saya bolak balik angkat dia karena dia main di
pinggir ruangan yang banyak barang pecah pelah, waktu dimana di gamau makan
disuapin tapi makan sendiri dan sangat berantakan, waktu dimana saya capek dan
saya kasih dia nonton TV seharian, waktu dimana dia menumpahkan makanan dia ke
lantai yang baru di pel, waktu dimana saya tidak bisa mengontrol emosi saya
lalu tersadar dan banyak peluk dan cium Radit setelah itu, banyak sekali.
Saya jauh dari sempurna. Tulisan ini dibuat semata-mata
hanya unuk sharing dan saya tidak membenarkan apa yag saya lakukan. Saya ingin
mensupport ibu lain untuk tetap konsisten mengajarkan hal baik pada anak tanpa
harus memikirkan apa yang orang lain katakan. Mengapa kebanyakan saya berikan
contoh saya? Supaya tidak kebanyakan teori, tapi saya langsung sharing dari apa
yang saya lakukan. Being a mom is a lifetime lesson. You don’t have to agree
with me, you don’t have to do what I do. Believe in yourself and be CONSISTENT.
No comments:
Post a Comment