Friday, June 21, 2019

DISIPLIN PADA ANAK: A THOUGHT




Beberapa hari yang lalu saya melihat video di IG Story, isinya tentang seorang Ibu yang sedang bersikap keras/tegas pada anaknya dengan tidak memberi makan anaknya pada jam makan karena anaknya telah mencuri uang (yang jumlahnya tidak banyak) dari dompet ibunya, kurang lebih seperti itu yang saya tangkap. Yang menarik adalah, keluarga di sekitar (saat itu kondisinya sedang makan bersama, dan sang Ibu menyiapkan makanan untuk semua keluarga) menentang dan mencibir habis-habisan apa yang dilakukan oleh sang Ibu. Kebanyakan adalah anggota keluarga yang lebih tua. Mereka berkata “Kenapa kau melakukan itu? Dia hanya mengambil sedikit uang, dan bahkan itu bukan uangmu? Kemari Nak, sini kuberi kau makan.” Intinya berbagai pernyataan yang menentang apa yang dilakukan sang Ibu, menyalahkan, membela apa yang dilakukan sang anak dengan mengatakan bahwa hal tersebut bukan masalah, membenarkan perlakuan sang anak, merasa paling benar dan melakukan apa yang mereka anggap benar.

Sounds familiar Mom?


Saya kurang lebih pernah lah, bahkan masih terkadang diperlakukan seperti itu. Kalau orang tua sendiri masih bisa saya balikkan pernyataannya dengan informasi atau ilmu yang saya tahu, lebih tidak sungkan dan orangtua saya pun termasuk santai, jadi ya kalau sumbernya jelas mereka bisa menerima. Kalau mertua mungkin lebih sungkan juga ke saya, jadi jika ada yang ingin disampaikan beliau menyampaikan sebatas masukan ke saya. Yang terkadang saya ga habis pikir, udah bukan orangtua, bukan mertua, bukan keluarga, main komentar dan merasa paling benar, lalu menyalahkan apa yang saya lakukan. Saya cuma balas tersenyum saja, sebagai bentuk menghormati tapi masukan Anda yang tidak berdasar jangan harap akan saya terima J

Lanjut ya, poin yang ingin saya bahas adalah mengenai penerapan disiplin pada anak. Saya adalah anak sulung dari 2 bersaudara dan perempuan semua. Dari kecil perlakuan orang tua ke saya dan adik saya sangat berbeda. Maksudnya, kami berdua memiliki sifat yang jauh berbeda, jadi jelas perlakukan yang kami terima pun berbeda. Dulu saya merasa ini tidak adil, tapi semakin besar saya lebih mengerti. Saya tipe orang yang meledak-ledak kalau sedang marah, lebih ekspresif menyangkut emosi, ngotot, tapi 5 menit kemudian reda banget seakan lupa kalo abis marah, cuek, I’m super ignorant of what people think, cenderung keras, more realistic than idealistic, I’m super Leo. Sedangkan adik saya super Gemini. Kalo marah selalu di pendam, bisa sampe ga ngajak ngomong orang seminggu, penampilan harus sama warnanya, sangat tidak bisa dimarahi. Saya dididik kurang lebih seperti anak laki-laki pada jamannya, kalo saya minta sesuatu tapi tidak ada gunanya, ya tetap tidak dikasih, mau saya nangis-nangis atau guling-guling, gabisa ya gabisa. Kalo saya belajar, harus hapal, harus mengerti, kalau ditanya dan gabisa jawab, harus ulang baca 1 buku dari awal sampai akhir. Dan dimarahi tentunya hahaha. Pas jaman SMA, saya pernah ikut seleksi untuk masuk ke kelas Internasional dan saya tidak lolos, itu rasanya kayak dosa besar banget sama orang tua. Waktu SD-SMP saya harus ranking di kelas. Kalo nilai lagi turun, lalu ditanya “Apa yang membuat dia bisa dan kamu gabisa?” Sebenarnya kalau jawabannya masuk akal, pasti orang tua saya terima. Lalu orangtua saya akan lebih melihat proses yang saya lakukan, kalo seandainya saya sudah belajar sampai malam tetapi hasil yang saya dapatkan belum maksimal, ya mereka tidak akan marah, karena mereka tau sudah semaksimal apa saya berusaha. Sampai saat ini, dua hal tersebut (dari banyak hal lain) yang menjadi pegangan saya untuk hidup. Pertama, (kalau saya menginginkan sesuatu dan orang lain memilikinya, misal orang lain lebih sukses) apa yang bisa dia lakukan yang saya tidak bisa? Kedua, menyadari bahwa berusahalah semaksimal mungkin akan sesuatu, semaksimal mungkin dan sebaik mungkin, sehingga tidak ada celah orang lain untuk menyalahkan apa yang saya lakukan dan bagaimanapun hasilnya saya tidak akan menyesal karena saya sudah mengerahkan segala kemampuan yang saya punya.

Di sisi lain, saya menyadari bahwa disiplin/tegas/kerasnya orangtua saya (dalam hal ini ayah saya) jauh sekali dibandingkan kerasnya kehidupan (serius loh ini). Mereka mengajari saya bahwa hidup ini keras, kita tidak bisa merubah orang lain, kalau ingin suatu kondisi berubah yang bisa kita ubah hanya diri kita sendiri. Untuk bertahan, kita harus mengerjakan sesuatu sebaik mungkin, push my self to my limit.

Begitu saya menikah dan punya anak laki-laki, saya mau anak saya bisa bertahan hidup dan siap dengan dunia yang keras ini, terutama saat dia hidup tidak lagi dengan saya. Saya harus menerapkan beberapa hal dan sekonsisten mungkin agar tujuan saya bisa tercapai.

Ada beberapa hal kecil yang sudah mulai saya terapkan ke Radit, hanya tinggal konsistensi saya yang harus dipertahankan. Misalnya, masalah carseat. Melatih Radit mau duduk di carseat hingga saat ini bukan hal mudah. Ada masa-masa dimana Radit nangis di carseat dan minta diturunkan, ini saya harus putar otak gimana caranya dia jadi tenang lagi. Kalau dulu masih bayi (sekarang juga masih bayi sih haha) Radit belum semengerti sekarang, jadi saya harus pakai cara yang bisa “membujuk”. Dari mulai nyanyi-nyanyi dari berangkat sampai sampai ke tempat tujuan (ini pas kalo cuma bersda Radit perginya), nyalain youtube dari yang saya kasih lihat videonya sampai cuma musiknya aja, kasih snack, kasih susu, semua saya lakukan. Kalau sekarang kan Radit sudah lebih mengerti, dan sudah lebih kelihatan kalau nangis beneran atau Cuma acting aja. Nah, kalau sekarang, kalau nangis kebanyakan Cuma caper atau pura-pura aja, jadi kalau saya cuekin aja, lama-lama dia akan diam sendiri, sambal saya sounding “Radit kalau di mobil duduknya di carseat.” Permasalahan lain adalah tidak semua orang sudah tau pentingnya carseat. Awal menggunakan carseat, kalau ada orang lain yang ikut kami, kebanyakan merasa “kasihan” kalo Radit di letakkan di carseat. Padahal sebenarnya jauh lebih kasihan kalo Radit ga di carseat. Dulu, nenek-neneknya Radit selalu ambil Radit dari carseat. Lalu saya dan suami ngotot dan memberi tahu bahwa kami mau Radit kalau di mobil diletakkan di carseat. Lama-lama kondisi bahwa Radit kalau di mobil harus di carseat sudah bisa diterima semua keluarga. Karena sekarang, kalau Radit tidak diletakkan di carseat dan ada yang ngotot mau gendong Radit, silahkan menikmati akibatnya sendiri (karena sudah pasti Radit tidak bisa diam hahaha kalau di carseat dijamin anteng). Buat saya yang penting konsisten duduk di carseat, supaya Radit tau bahwa “Oh kalo naik mobil ya duduk di carseat.”

Contoh lain ya tentang disiplin, buat saya ini penting untuk pembentukan karakter Radit. Kalau dia jatuh/kepentok/kecepit/dll, saya TIDAK PERNAH menyalahkan hal lain entah tembok/jalan/pintu/orang lain. Instead of saying “Oh nakal ya temboknya” saya Cuma bilang “Sakit ya, sakit atau kaget Radit? Iya Radit jatuh soalnya tadi tidak hati-hati/Radit kecepit karena mainan pintu/Radit kepanasan Karena kena magic jar panas, makanya hati-hati ya.” Sambil saya peluk dan elus-elus bagian yang sakit. Saya juga tidak pernah kaget kalau Radit jatuh/dsb. Kalau orang lain yang belum mengerti, kalau lihat Radit jatuh/kepentok pasti kaget dan Radit langsung nangis. Seringnya Radit nangis karena kaget mendengar orang lain kaget, bukan merasa kesakitan. Kalaupun sakit, jarang sekali nangisnya bertahan lebih dari 5 menit. Hasilnya, sekarang Radit tau kalau turun kursi/meja/kasur harus hati-hati, harus bagaimana posisinya agar tidak jatuh, kalau turun jalan yg tidak rata dia pelan-pelan turunnya, sudah tidak buka magic jar karena pernah kena panasnya. Hal ini berkaitan dengan sifat dia kelak. Saya tidak mau menjadikan Radit pribadi yang menyalahkan external factors instead of dirinya sendiri jika suatu hari ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Saya mau dia berkaca dulu apa yang telah dia lakukan, apakah benar atau tidak, tanpa menyalahkan pihak lain. Juga mengajari Radit bahwa apa yang dia lakukan ada konsekuensinya dan harus dia terima. Kalau lompat-lompat ya bisa jatuh, kalau main magic jar ya bisa kena panas, kalau main di bawah meja ya tidak bisa berdiri karena bisa kepentok. Saya pun tidak pernah melarang Radit menangis. Setiap Radit nangis, saya tidak pernah berusaha menghentikan dengan “Ssst udah udah cup cup cup”. Saya membiarkan dia marah, kesal, sedih, dan membiarkan dia merasakan emosinya. Kalau sudah cukup lama saya cuma bilang “Sudah nangisnya?” Biasanya Radit nangis tidak pernah lebih dari 5 menit, kecuali untuk beberapa hal seperti kalau pas bangun tidur kondisi dia masih ngantuk dan tidak ada orang, dia bisa sekesal itu dan nangis lama. Tujuannya apa? Supaya dia realize and feel all the emotions. Supaya dia tau bahwa saya tau dia sedih dan tidak apa-apa sedih, supaya tidak ada yang dipendam atau ditumpuk dengan pengalihan saat dia menangis.

Sekarang di umur Radit yang menginjak 20 bulan, sudah hampir tidak pernah bangun malam untuk minta susu. Ini juga bukan dalam satu malam usahanya. Saya mulai pelan-pelan. Sebenarnya dari sebelum umur satu tahun, Radit sendiri Cuma bangun sekali di malam hari. Saya memanfaatkan kesempatan itu untuk pelan-pelan mengajari dia untuk tidak minum susu di malam hari. Saya mulai dengan “memberi tahu” Radit bahwa malam hari waktunya tidur dan bukan waktunya minum susu. Caranya? Di malam hari saat Radit bangun dan menangis, I give him “pause” to know if he really wants milk or not. Sekitar 5-10 menit saat dia bangun dan menangis di malam hari saya Cuma puk-puk aja. If the puk-puk works well dia akan kembali tidur tanpa minum susu. Tapi kalau nangisnya makin kejer lebih dari 10 menit, baru saya kasih susu. Sekarang, saya dan bapaknya sudah tidak pernah menyiapkan susu untuk tengah malam, karena kalau Radit bangun hanya minta peluk saja. Ini jadi PR saya selanjutnya karena saya mau ajarin Radit untuk tidur sendiri.

Kedisiplinan yang mau kami terapkan bahkan tidak jarang bertentangan dengan keluarga. Makanya, dari awal menikah saya tidak mau tinggal serumah dengan orang tua, bahkan dengan orangtua saya sendiri (orang tua sendiri seringnya lebih tidak sungkan untuk menentang anaknya kan?), supaya terhindar dari pertentangan macam ini.

Alasan saya sederhana:


  • Menyiapkan Radit untuk siap menghadapi kehidupannya kelak
  • Mengapa sedini mungkin? Saya mau masuk ke unconscious mind Radit, buat saya lebih mudah daripada nanti saat Radit sudah bisa memilih dan menolak, sehingga saya bisa menjadikan beberapa hal menjadi kebiasaan Radit dari kecil.
  • Mengajarkan pada Radit bahwa tidak semua orang akan melakukan apa yang kita inginkan dan tidak semua orang bisa menjaga perasaan kita.
  • Semua hal dimulai dari diri sendiri. Lihat diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain.

Tapi hidup tidak seindah dongeng, pasti masih banyak waktu dimana Radit tidak bisa dikasih tau sekali, dua kali, tiga kalo, bahkan berkali-kali juga dia masih belum mengerti. Ya memang harus terus-terusan. Waktu dimana saya bolak balik angkat dia karena dia main di pinggir ruangan yang banyak barang pecah pelah, waktu dimana di gamau makan disuapin tapi makan sendiri dan sangat berantakan, waktu dimana saya capek dan saya kasih dia nonton TV seharian, waktu dimana dia menumpahkan makanan dia ke lantai yang baru di pel, waktu dimana saya tidak bisa mengontrol emosi saya lalu tersadar dan banyak peluk dan cium Radit setelah itu, banyak sekali.

Saya jauh dari sempurna. Tulisan ini dibuat semata-mata hanya unuk sharing dan saya tidak membenarkan apa yag saya lakukan. Saya ingin mensupport ibu lain untuk tetap konsisten mengajarkan hal baik pada anak tanpa harus memikirkan apa yang orang lain katakan. Mengapa kebanyakan saya berikan contoh saya? Supaya tidak kebanyakan teori, tapi saya langsung sharing dari apa yang saya lakukan. Being a mom is a lifetime lesson. You don’t have to agree with me, you don’t have to do what I do. Believe in yourself and be CONSISTENT.

No comments:

Post a Comment