Sebenarnya saya sudah pernah menuliskan secara (lebih) singkat tentang proses melahirkan anak saya di Instagram saya. Tapi, mungkin kalau di blog bisa saya ceritakan lebih mendetail lagi. Tidak ada maksud apapun selain hanya untuk sharing. Karena pada awalnya saya bener-bener no idea tentang apa yang saya alami.
Dari awal kehamilan, tidak ada tanda-tanda yang aneh pada saya ataupun kehamilan saya. Setiap kali kontrol dan di USG, hasilnya bagus. Selama kehamilan (dan sebelum kehamilan) saya kontrol di BIC (Bunda International Clinic) Menteng dengan Dr. Irham Suheimi. Kenapa dokter Irham? Pada awal sebelum kehamilan saya memang berencana untuk periksa (seperti yang sudah saya jelaskan di post sebelumnya) dan saya tidak tahu menahu tentang dunia kehamilan, jadi saya banyak tanya ke teman-teman saya yang sudah berpengalaman. Setelah berbagai pertimbangan, akhirnya saya mencoba untuk datang ke BIC untuk bertemu dengan Dr Irham. Alhamdulillah cocok banget. Beliau selalu menyambut dengan senyum dan semangat setiap pasien yang masuk, termasuk saya. Dan setelah sekian lama kontrol dengan beliau, satu yang menjadi nilai plus beliau di mata saya adalah ketenangan beliau. Jadi dari saya belum hamil sampai hamil bahkan sampai Dr Irham memutuskan untuk harus lahir prematur, beliau selalu menyampaikan segalanya dengan sangat tenang. Saya sebagai pasien, apalagi ibu hamil, juga jadi tidak gampang panik. Selain itu, segala macam pertanyaan saya dijawab dengan jelas dan tidak menggurui. Tapi harap sabar ya kalau kontrol dengan beliau, karena sudah pasti antri. Tidak bisa dipastikan berapa lama antrinya, tapi tidak sampai jam 1 pagi juga seperti dokter-dokter lain. Kalau saya paling lama antri 2 jam. Menurut saya, kualitas dokter salah satunya bisa ditentukan seberapa banyak pasien yang antri hehe. Menurut saya loh ya. Nah, sudah pasti nanti anak kedua saya akan lanjut dengan Dr Irham, semoga saya banyak rejekinya (Aamiin yra).
Cerita berawal dari saya terbang ke Surabaya sekitar bulan Oktober awal karena saya dan keluarga mengadakan acara 7 bulanan kehamilan saya di Surabaya. Sesampainya saya dan suami di Surabaya, di kamar saya kok saya merasa badan saya super capek banget, kaki pegel. Saya lihat bagian betis belakang muncul tanda garis sampai ke paha, dan di paha bagian belakang seperti ada tanda gelap besar sekali. Karena Ibu saya sudah tidur, saya tanya esok harinya. Ternyata beliau mengalami hal yang sama waktu hamil saya. Oke saya pikir gapapa lah Ibu juga sama. Tapi, saat bangun di pagi hari, suami saya lihat dan tanya "Itu mata kamu kok bengep amat?" Lalu saya lihat di kaca, bener juga ya. Ah mungkin ini karena berat badan naik, hormon kehamilan, dll. Selain itu saya juga merasa pipi saya makin lebar, hidung makin besar, bahkan bibirpun juga. Orang-orang yang melihat saya banyak berpendapat yang sama. Saya senang, karena berarti kehamilan saya sudah mulai terlihat, karena selama ini kalau jalan-jalan tidak banyak orang yang sadar kalau saya hamil.
Long story short, saya akhirnya kembali ke Jakarta. Sebelum itu, saya harus mengurus surat keterangan terbang dulu di Dokter Kandungan di Surabaya. Akhirnya saya ke RSIA Kendangsari, bertemu Dr Fachry. Secara umum kehamilan saya tidak ada masalah. Saya hanya heran, kok berat badan saya naiknya super drastis. Waktu 28 minggu saya naik 7 kg, sedangkan saat itu 31 minggu saya sudah naik 15 kg. Yang ada di pikiran saya hanya wah nanti kalo 9 bulan berat saya jadi berapa nih.
Akhirnya saya kembali ke Jakarta. Selama saya di Surabaya, setiap bangun pagi mata saya selalu bengep. Di Jakarta pun demikian, hanya tidak lama setelah itu lalu hilang. Setelah itu, saya mengalami keputihan yang lebih banyak dari biasanya. Saya pikir tidak apa-apa, mungkin pembersihan, karena saya pernah baca memang ada yang masih keluar lendir di trisemester ketiga kehamilan. Yang sebenarnya bikin saya waswas adalah keputihan keluar dengan darah, tapi bukan darah kental. Saya pikir oke istirahat saja biasanya flek akan hilang. Ternyata sampai 3-4 hari keputihan selalu diikuti darah. Ditambah, selama itu saya mengalami kontraksi yang berkelanjutan, padahal di umur kandungan yang masih 31 minggu kontraksi seharusnya masih hanya sesekali saja. Akhirnya saya memutuskan untuk kontrol ke dokter, tetapi saya paskan dengan memang jadwal kontrol saya (saya tunggu hingga hari Sabtu, sekitar 3-4 hari setelah saya mengalami keputihan dan kontraksi tersebut).
Selanjutnya saya jabarkan per hari ya agar lebih mudah.
14 Oktober 2017: Jadwal Kontrol ke Dr Irham
Hari ini hari Sabtu dan jadwal kontrol sekitar jam 1 siang. Paginya saya dan suami masih menyempatkan diri untuk bekerja, pergi ke Thamrin City untuk membeli beberapa bahan baku bisnis saya. Setelah itu bahkan saya masih pergi ke Lotte Avenue, saya dari awal hamil ngidam mie ayam di kantin karyawannya (kantor saya dulu di sini) tapi belum kesampaian. Mumpung ada waktu saya sempatkan. Ternyata kantin karyawannya tutup. Akhirnya saya dan suami makan di mall saja. Setelah itu kami langsung ke RS.
Di RS seperti biasa kami menunggu, tapi kok tidak selama biasanya. Pada saat saya dan suami masuk, Dr Irham menyambut kami dengan semangatnya. Lalu saya di USG. Pas sekali saat saya di USG perut saya kontraksi, dan saya juga menceritakan apa yang saya alami ke Dr Irham. Akhirnya beliau menyarankan ke saya untuk tindakan CTG di RSIA Bunda.
Singkatnya, saya langsung CTG ke RSIA Bunda Menteng (dekat lokasinya dengan BIC, jadi jalan kaki saja). Sejujurnya saya tidak tahu CTG itu apa, untuk apa, ya pokoknya Dr Irham bilang apa saya nurut aja. Ternyata kata suster itu untuk melihat kontraksi janin saya. Hasilnya, memang cukup sering kontraksi yang saya alami. Ditambah, ternyata tekanan darah saya tinggi.
Akhirnya saya diterapi obat dulu. Saya diberi obat penurun tensi dan tunggu 1 jam. Saya sampai dikasih makanan rumah sakit. Setelah 1 jam, ternyata tensi saya masih tinggi. Saya juga diberi obat (Atau dalam bentuk infus saya lupa) untuk meredakan kontraksinya. Intinya, tensi saya masih tetap tinggi dan setelah CTG 2x kontraksi saya tidak hilang juga.
Suster menelpon Dokter dan suster menyampaikan ke saya, pilihannya saya mau pulang dengan diberi obat saja atau opname, kalau suster lebih menyarankan opname. Karena saya bingung, saya telpon Ibu saya. Ibu saya bilang opname saja. Oke saya nurut. Akhirnya saya opname, tapi karena kontraksi masih terus dan tensi saya masih tinggi, saya masih disuruh untuk tetap berada di ruang observasi. Setiap jam suster masuk untuk periksa, untuk cek tensi, tensi saya naik turun tapi cenderung tinggi. Saya sudah mulai pusing tapi masih pusing biasa. Saya diambil darah untuk di cek. Saya terus diberi obat penurun tensi ditambah obat anti kejang. Akhirnya malam ini saya menginap di ruang observasi dan setiap jam suster terus mengawasi dan menanyakan keadaan saya, karena hingga malam tensi saya tak kunjung turun.
15 Oktober 2017: Masih di Ruang Observasi dan Keadaan Saya Tidak Kunjung Membaik
Hari ini suami saya berganti jaga dengan mertua dan adik ipar saya, berhubung seluruh keluarga saya ada di Surabaya. Suami tetap di rumah sakit, tapi dia keluar membeli makan dan mengurusi administrasi lain yang perlu diurusi. Hari ini saya di tes urin dan diambil darah lagi. Saya ingat saya diambil darah berkali-kali untuk keperluan yang berbeda, untuk melihat kondisi saya karena memang tak kunjung membaik. Kepala saya semakin pusing hari ini, karena makanan rumah sakit yang hambar, saya minta dibelikan mi ayam oleh suami saya (diperbolehkan sama suster). Obat penurun tensi dan anti kejang tidak berhenti diberikan, dan tambahan obat-obatan lain saya gatau namanya apa. Makin sore kepala saya makin pusing, suster selalu menanyakan "Pusing bu? Kunang-kunang ga? Sampai tengkuk ga pusingnya?" Di hari ini belum kunang-kunang dan belum sampai tengkuk. Dokter Irham datang untuk visit dan menjelaskan kemungkinan apa yang saya alami. Kata beliau, ada kemungkinan saya mengalami pre eklamsia. Saya benar-benar tidak teredukasi itu apa. Dari penjelasan beliau, pre eklamsia adalah kondisi dimana janin menjadi "racun" bagi ibunya, jadi semacam keracunan kehamilan. Hal ini yang menyebabkan tensi saya tinggi. Tapi untuk lebih memastikan, sedang dilakukan tes urin dan tes darah untuk melihat efek samping yang lain. Satu-satunya cara untuk menyembuhkan hanya dengan mengeluarkan janin dari kandungan Ibu. Dokter menjelaskan ini sebelum hasil lab saya keluar, karena masih kemungkinan. Saya masih belum bisa berfikir apa-apa karena kepala saya benar-benar pusing. Saya tidak boleh turun dari ranjang, benar-benar harus tidur total, dan kontraksi saya masih belum berhenti. Lalu Dokter keluar dari ruangan saya. Ibu dan Ayah saya panik di Surabaya, bingung kapan lebih baik ke Jakarta. Saya bilang "Nanti aja, masih belum tau ini kenapa." Saya tidak mau merepotkan mereka selama saya dan suami saya masih bisa tangani semuanya sendiri. Saya sudah tidak pegang handphone, jadi orangtua saya berkomunikasi dengan suami saya. Setiap jam saya di tensi tapi tidak menunjukkan perkembangan yang berarti, bahkan saya sempat di CTG lagi tapi tetap ada kontraksinya, walau mulai melambat.
Saya lupa tepatnya, seperti siang ke sore hari, hasil lab keluar. Akhirnya Dokter Irham kembali ke ruangan saya dan menerangkan saya terkena pre eklamsia, karena urin saya positif protein (+2), tensi tak kunjung turun, dan gula darah saya tinggi. Padahal di minggu 28 saya cek gula darah sesuai anjuran Dr Irham dan hasilnya normal. Saya tanya pada Dr Irham, kok bisa dok saya kena, padahal saya tidak ada keturunan darah tinggi, apa dari makanan atau lifestyle atau apa. Dengan tenang Dr Irham menjawab dan meyakinkan saya, bahwa ini bukan salah ibunya. Sampai saat ini secara medis belum tahu penyebab dari pre eklamsia, jadi semua wanita hamil bisa tiba-tiba terkena pre eklamsia. Yang harus di waspadai adalah jangan sampai menjadi eklamsia dan kejang, karena kalau sudah begitu hanya hitungan detik ke bayinya. Lalu saya tanya bagaimana selanjutnya, Dokter hanya menjawab ya nanti kita lihat perkembangannya bagaimana, pokoknya saya prioritaskan Ibunya dulu ya, kata Dr Irham. Dokter juga mengatakan bahwa kita akan menahan selama mungkin janin untuk ada di inkubator terbaik yaitu di rahim. Jujur, saat itu saya tidak bisa berfikir macam-macam saking pusingnya kepala saya. Saya tidak ada firasat apa-apa, karena saya yakin kalau anak saya kuat, jadi dia bisa melewati ini semua. Setelah Dr Irham menjelaskan semua dan keluar ruangan, suster langsung memberikan saya penguat paru untuk janin lewat selang infus. Efek sampingnya akan terasa sangat gata dan panas selama 1-2 menit di area kewanitaan. Saya teriak-teriak saat itu, tidak tahan rasanya. Setelah efek sampingnya hilang, saya tanya ke suster berapa kali di suntik penguat paru untuk janin. Suster bilang biasanya 3x, sehari 1x. Oh oke, saya pikir berarti operasinya mungkin hari rabu, jadi saya bilang ke Ayah dan Ibu saya nanti saja hari Selasa ke Jakarta nya, setelah suntikan penguat paru ke3. Setelah itu saya benar-benar hanya berdiam diri di ranjang. Sakit kepala luar biasa. Ternyata kata suami saya Ayah dan Ibu saya yang cemas memutuskan untuk terbang ke Jakarta malam itu juga. Saya sudah tidak mau memikirkannya karena kepala saya sudah pusing sekali. Suster setiap jam masih mengawasi saya karena saya belum naik ke kamar, masih di ruang observasi. Saya memejamkan mata walau sulit sekali untuk tidur karena sakit kepala yang amat sangat. Malamnya saat Ayah dan Ibu saya datang dari airport saya tau, hanya saya tidak kuat untuk menyapa sehingga saya hanya terdiam saja di ranjang.
16 Oktober 2017: The Day
Sakit kepala saya tak kunjung membaik, yang ada malah makin menjadi. Saya ingat pertanyaan suster setiap kali masuk ke ruangan saya, apakah sakit kepala saya sudah sampai tengkuk. Dan pagi ini saya merasakannya. Saya sudah bisa tahan lagi. Saya bilang ke suster kalau sakit kepala saya semakin menjadi dan sudah mencapai tengkuk. Tidak berapa lama kemudian Dokter Irham masuk (kebetulan beliau baru ada tindakan juga) lalu langsung berkata pada saya "Sar, udah gabisa ditahan tahan lagi, kita langsung tidakan yah." Beliau menyampaikan hal tersebut dengen tenang. Sejujurnya, saya benar-benar tidak khawatir dengan kondisi anak saya, karena entah mengapa ada perasaan dalam diri saya mengatakan bahwa anak saya kuat dan dia baik-baik saja. Begitu saya dibawa keluar ruangan untuk masuk ke ruang operasi, saya menangis. Suami saya menenangkan saya. Bukan karena akan operasi, bukan karena takut, tapi karena saya merasa bersalah sama anak saya. Dia harus keluar sebelum waktunya.
Akhirnya saya masuk terlebih dahulu ke ruang operasi. Dr Irham memperbolehkan suami saya untuk ikut masuk, tapi suami saya menunggu di luar terlebih dahulu, nanti dipanggil saat waktunya masuk. Saya ingat saya haru menunggu beberapa saat sebelum masuk ruang operasi, sambil ditunggui oleh suami saya. Ada pasien lain yang juga menunggu di sebelah saya, tetapi saking sakitnya kepala saya, saya tidak sanggup untuk menyapa. Sekitar setengah jam saya dan suami saya menunggu, lalu ada dokter yang memperkenalkan diri. Dr Adhi Teguh, spesialis menangani anak prematur, katanya. Kemudian ada dokter lain, yaitu dokter spesialis anestesi. Setelah menunggu saya dipanggil ke dalam ruang operasi, untuk dilakukan anestesi dulu. Saya disuntik di bagian punggung, setelah itu saya disuruh untuk tidur. Makin lama makin mati rasa, obatnya bekerja. Lalu suami saya dipanggil masuk. Semua sudah siap, suami saya sudah masuk, saya masih bisa bicara dan saya bilang ke dokter "Dok, berasa ada sesuatu ya di perut saya." Masih sedikit berasa waktu saya dibedah. Bukan terasa seperti terasa, hanya seperti ada benda menggores di perut saya, tapi tidak sakit. Lalu sepertinya obat bius yang diberikan bekerja pada saya. Rasanya mata saya ini tidak kuat dan akhirnya terpejam. Saya masih samar-samar dapat mendengarkan dan sedikit melihat saat anak saya diangkat dari perut saya dan menangis. Setelah itu yang saya tau saya terbangun setelah operasi dan menggigil kedinginan. Pemulihan setelah operasi ternyata lebih lama daripada operasi itu sendiri, sekitar 4 jam sedangkan operasinya hanya berkisar 15-30 menit, kata suami saya, berhubung saya setengah sadar saat operasi. Setelah pemulihan selesai baru saya di bawa ke kamar. Kata suami saya, anak kami tadi menangis, langsung diangkat oleh Dr Irham dan diberikan kepada Dr Adhi. Oleh Dr Adhi, anak saya yang menangis ditutup mulutnya, mungkin supaya menangisnya berhenti karena anak prematur jantungnya berbeda dengan anak lahir cukup bulan, Lalu anak saya langsung diletakkan di inkubator dan dipasang alat bantu pernafasan dan lain-lain. Anak saya kemudian langsung dibawa ke NICU dan suami saya ikut mengantarkan untuk mengadzani.
Setelah berada di kamar, rasanya masih ada beberapa bagian tubuh yang mati rasa, pengaruh anestesinya belum hilang. Saya masih dipakaikan kateter. Suster bilang, kalau besok saya sudah mampu untuk bangun, buang air sendiri, kateter akan di lepas dan saya boleh lihat anak saya di NICU. Hari ini harus pemulihan, jadi belum bisa lihat anak. Jadi saya berusaha sekuat tenaga untuk segera pulih, supaya besok bisa lihat anak saya. Malamnya, saya benar-benar tidak tidur, ga tau kenapa saya susah sekali tidur. Mungkin karena saking pengennya saya ketemu anak saya.
17 Oktober 2017: I met him
Hari ini saya harus ketemu anak saya. Saya paksakan diri untuk berdiri, berjalan, tapi sebelumnya kateter harus di lepas. Saya bilang sama suster saya sudah lumayan kuat. Akhirnya dengan melihat kondisi saya yang bisa untuk lepas kateter, suster lepas kateter saya. Rasanya tidak sakit. Lalu saya mencoba berdiri, berjalan ke kamar mandi, masih sedikit berat, tapi saya sudah bisa bangun. Akhirnya saat jam besuk ruang NICU, jam 12 siang saya memakai kursi roda (kepala masih agak berat soalnya) saya dan suami melihat anak saya. Saya benar-benar memasang emotionless mode, supaya saya tidak sedih. Saya harus senang. Saya harus berfikiran positif, agar anak saya juga senang, agar dia bisa fokus untuk berjuang sehingga kami bisa segera pulang.
Saat saya lihat dia, masih ada alat bantu nafas yang dilepas karena anak saya sedang di sinar karena bilirubinnya yang tinggi. Minumnya masih pakai sonde. Karena ASI saya memang belum keluar, mau tidak mau harus pakai sufor. Saya pribadi tidak masalah selama memang untuk kebaikan anak saya. Saya ajak dia ngobrol, saya bilang di harus kuat, cepat besar ya supaya kita cepat pulang dan bisa main. Saya cuma bisa doakan dia dari luar inkubator. Semoga dia mengerti.
Yang paling saya ingat, saat Dr Irham visit hari ini, beliau mengatakan "Alhamdulillah Sar kita segera tindakan. Plasentanya udah putus, jadi beku. Kalau telat 2 jam tindakannya tidak akan seperti ini." Lagi-lagi dengan pembawaan dia yang tenang, sehingga saya juga tidak panik. Saya hanya bisa bersyukur sama Allah, terima kasih ya Allah Engkau percayakan anak yang kuat ini pada saya dan suami saya, terima kasih ya Allah telah berikan kami kesempatan untuk membesarkan anak yang hebat ini, terima kasih ya Allah atas rahmat dan karunia terbesarMu yang kau berikan pada kami. Tidak berhenti dari mulut dan pikiran saya untuk mengucap syukur sebanyak-banyaknya.
Dari awal kehamilan, tidak ada tanda-tanda yang aneh pada saya ataupun kehamilan saya. Setiap kali kontrol dan di USG, hasilnya bagus. Selama kehamilan (dan sebelum kehamilan) saya kontrol di BIC (Bunda International Clinic) Menteng dengan Dr. Irham Suheimi. Kenapa dokter Irham? Pada awal sebelum kehamilan saya memang berencana untuk periksa (seperti yang sudah saya jelaskan di post sebelumnya) dan saya tidak tahu menahu tentang dunia kehamilan, jadi saya banyak tanya ke teman-teman saya yang sudah berpengalaman. Setelah berbagai pertimbangan, akhirnya saya mencoba untuk datang ke BIC untuk bertemu dengan Dr Irham. Alhamdulillah cocok banget. Beliau selalu menyambut dengan senyum dan semangat setiap pasien yang masuk, termasuk saya. Dan setelah sekian lama kontrol dengan beliau, satu yang menjadi nilai plus beliau di mata saya adalah ketenangan beliau. Jadi dari saya belum hamil sampai hamil bahkan sampai Dr Irham memutuskan untuk harus lahir prematur, beliau selalu menyampaikan segalanya dengan sangat tenang. Saya sebagai pasien, apalagi ibu hamil, juga jadi tidak gampang panik. Selain itu, segala macam pertanyaan saya dijawab dengan jelas dan tidak menggurui. Tapi harap sabar ya kalau kontrol dengan beliau, karena sudah pasti antri. Tidak bisa dipastikan berapa lama antrinya, tapi tidak sampai jam 1 pagi juga seperti dokter-dokter lain. Kalau saya paling lama antri 2 jam. Menurut saya, kualitas dokter salah satunya bisa ditentukan seberapa banyak pasien yang antri hehe. Menurut saya loh ya. Nah, sudah pasti nanti anak kedua saya akan lanjut dengan Dr Irham, semoga saya banyak rejekinya (Aamiin yra).
Cerita berawal dari saya terbang ke Surabaya sekitar bulan Oktober awal karena saya dan keluarga mengadakan acara 7 bulanan kehamilan saya di Surabaya. Sesampainya saya dan suami di Surabaya, di kamar saya kok saya merasa badan saya super capek banget, kaki pegel. Saya lihat bagian betis belakang muncul tanda garis sampai ke paha, dan di paha bagian belakang seperti ada tanda gelap besar sekali. Karena Ibu saya sudah tidur, saya tanya esok harinya. Ternyata beliau mengalami hal yang sama waktu hamil saya. Oke saya pikir gapapa lah Ibu juga sama. Tapi, saat bangun di pagi hari, suami saya lihat dan tanya "Itu mata kamu kok bengep amat?" Lalu saya lihat di kaca, bener juga ya. Ah mungkin ini karena berat badan naik, hormon kehamilan, dll. Selain itu saya juga merasa pipi saya makin lebar, hidung makin besar, bahkan bibirpun juga. Orang-orang yang melihat saya banyak berpendapat yang sama. Saya senang, karena berarti kehamilan saya sudah mulai terlihat, karena selama ini kalau jalan-jalan tidak banyak orang yang sadar kalau saya hamil.
Long story short, saya akhirnya kembali ke Jakarta. Sebelum itu, saya harus mengurus surat keterangan terbang dulu di Dokter Kandungan di Surabaya. Akhirnya saya ke RSIA Kendangsari, bertemu Dr Fachry. Secara umum kehamilan saya tidak ada masalah. Saya hanya heran, kok berat badan saya naiknya super drastis. Waktu 28 minggu saya naik 7 kg, sedangkan saat itu 31 minggu saya sudah naik 15 kg. Yang ada di pikiran saya hanya wah nanti kalo 9 bulan berat saya jadi berapa nih.
Akhirnya saya kembali ke Jakarta. Selama saya di Surabaya, setiap bangun pagi mata saya selalu bengep. Di Jakarta pun demikian, hanya tidak lama setelah itu lalu hilang. Setelah itu, saya mengalami keputihan yang lebih banyak dari biasanya. Saya pikir tidak apa-apa, mungkin pembersihan, karena saya pernah baca memang ada yang masih keluar lendir di trisemester ketiga kehamilan. Yang sebenarnya bikin saya waswas adalah keputihan keluar dengan darah, tapi bukan darah kental. Saya pikir oke istirahat saja biasanya flek akan hilang. Ternyata sampai 3-4 hari keputihan selalu diikuti darah. Ditambah, selama itu saya mengalami kontraksi yang berkelanjutan, padahal di umur kandungan yang masih 31 minggu kontraksi seharusnya masih hanya sesekali saja. Akhirnya saya memutuskan untuk kontrol ke dokter, tetapi saya paskan dengan memang jadwal kontrol saya (saya tunggu hingga hari Sabtu, sekitar 3-4 hari setelah saya mengalami keputihan dan kontraksi tersebut).
Selanjutnya saya jabarkan per hari ya agar lebih mudah.
14 Oktober 2017: Jadwal Kontrol ke Dr Irham
Hari ini hari Sabtu dan jadwal kontrol sekitar jam 1 siang. Paginya saya dan suami masih menyempatkan diri untuk bekerja, pergi ke Thamrin City untuk membeli beberapa bahan baku bisnis saya. Setelah itu bahkan saya masih pergi ke Lotte Avenue, saya dari awal hamil ngidam mie ayam di kantin karyawannya (kantor saya dulu di sini) tapi belum kesampaian. Mumpung ada waktu saya sempatkan. Ternyata kantin karyawannya tutup. Akhirnya saya dan suami makan di mall saja. Setelah itu kami langsung ke RS.
Di RS seperti biasa kami menunggu, tapi kok tidak selama biasanya. Pada saat saya dan suami masuk, Dr Irham menyambut kami dengan semangatnya. Lalu saya di USG. Pas sekali saat saya di USG perut saya kontraksi, dan saya juga menceritakan apa yang saya alami ke Dr Irham. Akhirnya beliau menyarankan ke saya untuk tindakan CTG di RSIA Bunda.
Singkatnya, saya langsung CTG ke RSIA Bunda Menteng (dekat lokasinya dengan BIC, jadi jalan kaki saja). Sejujurnya saya tidak tahu CTG itu apa, untuk apa, ya pokoknya Dr Irham bilang apa saya nurut aja. Ternyata kata suster itu untuk melihat kontraksi janin saya. Hasilnya, memang cukup sering kontraksi yang saya alami. Ditambah, ternyata tekanan darah saya tinggi.
Akhirnya saya diterapi obat dulu. Saya diberi obat penurun tensi dan tunggu 1 jam. Saya sampai dikasih makanan rumah sakit. Setelah 1 jam, ternyata tensi saya masih tinggi. Saya juga diberi obat (Atau dalam bentuk infus saya lupa) untuk meredakan kontraksinya. Intinya, tensi saya masih tetap tinggi dan setelah CTG 2x kontraksi saya tidak hilang juga.
Suster menelpon Dokter dan suster menyampaikan ke saya, pilihannya saya mau pulang dengan diberi obat saja atau opname, kalau suster lebih menyarankan opname. Karena saya bingung, saya telpon Ibu saya. Ibu saya bilang opname saja. Oke saya nurut. Akhirnya saya opname, tapi karena kontraksi masih terus dan tensi saya masih tinggi, saya masih disuruh untuk tetap berada di ruang observasi. Setiap jam suster masuk untuk periksa, untuk cek tensi, tensi saya naik turun tapi cenderung tinggi. Saya sudah mulai pusing tapi masih pusing biasa. Saya diambil darah untuk di cek. Saya terus diberi obat penurun tensi ditambah obat anti kejang. Akhirnya malam ini saya menginap di ruang observasi dan setiap jam suster terus mengawasi dan menanyakan keadaan saya, karena hingga malam tensi saya tak kunjung turun.
Saat proses CTG
Saat di ruang observasi
Ruang observasi
Hari ini suami saya berganti jaga dengan mertua dan adik ipar saya, berhubung seluruh keluarga saya ada di Surabaya. Suami tetap di rumah sakit, tapi dia keluar membeli makan dan mengurusi administrasi lain yang perlu diurusi. Hari ini saya di tes urin dan diambil darah lagi. Saya ingat saya diambil darah berkali-kali untuk keperluan yang berbeda, untuk melihat kondisi saya karena memang tak kunjung membaik. Kepala saya semakin pusing hari ini, karena makanan rumah sakit yang hambar, saya minta dibelikan mi ayam oleh suami saya (diperbolehkan sama suster). Obat penurun tensi dan anti kejang tidak berhenti diberikan, dan tambahan obat-obatan lain saya gatau namanya apa. Makin sore kepala saya makin pusing, suster selalu menanyakan "Pusing bu? Kunang-kunang ga? Sampai tengkuk ga pusingnya?" Di hari ini belum kunang-kunang dan belum sampai tengkuk. Dokter Irham datang untuk visit dan menjelaskan kemungkinan apa yang saya alami. Kata beliau, ada kemungkinan saya mengalami pre eklamsia. Saya benar-benar tidak teredukasi itu apa. Dari penjelasan beliau, pre eklamsia adalah kondisi dimana janin menjadi "racun" bagi ibunya, jadi semacam keracunan kehamilan. Hal ini yang menyebabkan tensi saya tinggi. Tapi untuk lebih memastikan, sedang dilakukan tes urin dan tes darah untuk melihat efek samping yang lain. Satu-satunya cara untuk menyembuhkan hanya dengan mengeluarkan janin dari kandungan Ibu. Dokter menjelaskan ini sebelum hasil lab saya keluar, karena masih kemungkinan. Saya masih belum bisa berfikir apa-apa karena kepala saya benar-benar pusing. Saya tidak boleh turun dari ranjang, benar-benar harus tidur total, dan kontraksi saya masih belum berhenti. Lalu Dokter keluar dari ruangan saya. Ibu dan Ayah saya panik di Surabaya, bingung kapan lebih baik ke Jakarta. Saya bilang "Nanti aja, masih belum tau ini kenapa." Saya tidak mau merepotkan mereka selama saya dan suami saya masih bisa tangani semuanya sendiri. Saya sudah tidak pegang handphone, jadi orangtua saya berkomunikasi dengan suami saya. Setiap jam saya di tensi tapi tidak menunjukkan perkembangan yang berarti, bahkan saya sempat di CTG lagi tapi tetap ada kontraksinya, walau mulai melambat.
Saya lupa tepatnya, seperti siang ke sore hari, hasil lab keluar. Akhirnya Dokter Irham kembali ke ruangan saya dan menerangkan saya terkena pre eklamsia, karena urin saya positif protein (+2), tensi tak kunjung turun, dan gula darah saya tinggi. Padahal di minggu 28 saya cek gula darah sesuai anjuran Dr Irham dan hasilnya normal. Saya tanya pada Dr Irham, kok bisa dok saya kena, padahal saya tidak ada keturunan darah tinggi, apa dari makanan atau lifestyle atau apa. Dengan tenang Dr Irham menjawab dan meyakinkan saya, bahwa ini bukan salah ibunya. Sampai saat ini secara medis belum tahu penyebab dari pre eklamsia, jadi semua wanita hamil bisa tiba-tiba terkena pre eklamsia. Yang harus di waspadai adalah jangan sampai menjadi eklamsia dan kejang, karena kalau sudah begitu hanya hitungan detik ke bayinya. Lalu saya tanya bagaimana selanjutnya, Dokter hanya menjawab ya nanti kita lihat perkembangannya bagaimana, pokoknya saya prioritaskan Ibunya dulu ya, kata Dr Irham. Dokter juga mengatakan bahwa kita akan menahan selama mungkin janin untuk ada di inkubator terbaik yaitu di rahim. Jujur, saat itu saya tidak bisa berfikir macam-macam saking pusingnya kepala saya. Saya tidak ada firasat apa-apa, karena saya yakin kalau anak saya kuat, jadi dia bisa melewati ini semua. Setelah Dr Irham menjelaskan semua dan keluar ruangan, suster langsung memberikan saya penguat paru untuk janin lewat selang infus. Efek sampingnya akan terasa sangat gata dan panas selama 1-2 menit di area kewanitaan. Saya teriak-teriak saat itu, tidak tahan rasanya. Setelah efek sampingnya hilang, saya tanya ke suster berapa kali di suntik penguat paru untuk janin. Suster bilang biasanya 3x, sehari 1x. Oh oke, saya pikir berarti operasinya mungkin hari rabu, jadi saya bilang ke Ayah dan Ibu saya nanti saja hari Selasa ke Jakarta nya, setelah suntikan penguat paru ke3. Setelah itu saya benar-benar hanya berdiam diri di ranjang. Sakit kepala luar biasa. Ternyata kata suami saya Ayah dan Ibu saya yang cemas memutuskan untuk terbang ke Jakarta malam itu juga. Saya sudah tidak mau memikirkannya karena kepala saya sudah pusing sekali. Suster setiap jam masih mengawasi saya karena saya belum naik ke kamar, masih di ruang observasi. Saya memejamkan mata walau sulit sekali untuk tidur karena sakit kepala yang amat sangat. Malamnya saat Ayah dan Ibu saya datang dari airport saya tau, hanya saya tidak kuat untuk menyapa sehingga saya hanya terdiam saja di ranjang.
16 Oktober 2017: The Day
Sakit kepala saya tak kunjung membaik, yang ada malah makin menjadi. Saya ingat pertanyaan suster setiap kali masuk ke ruangan saya, apakah sakit kepala saya sudah sampai tengkuk. Dan pagi ini saya merasakannya. Saya sudah bisa tahan lagi. Saya bilang ke suster kalau sakit kepala saya semakin menjadi dan sudah mencapai tengkuk. Tidak berapa lama kemudian Dokter Irham masuk (kebetulan beliau baru ada tindakan juga) lalu langsung berkata pada saya "Sar, udah gabisa ditahan tahan lagi, kita langsung tidakan yah." Beliau menyampaikan hal tersebut dengen tenang. Sejujurnya, saya benar-benar tidak khawatir dengan kondisi anak saya, karena entah mengapa ada perasaan dalam diri saya mengatakan bahwa anak saya kuat dan dia baik-baik saja. Begitu saya dibawa keluar ruangan untuk masuk ke ruang operasi, saya menangis. Suami saya menenangkan saya. Bukan karena akan operasi, bukan karena takut, tapi karena saya merasa bersalah sama anak saya. Dia harus keluar sebelum waktunya.
Akhirnya saya masuk terlebih dahulu ke ruang operasi. Dr Irham memperbolehkan suami saya untuk ikut masuk, tapi suami saya menunggu di luar terlebih dahulu, nanti dipanggil saat waktunya masuk. Saya ingat saya haru menunggu beberapa saat sebelum masuk ruang operasi, sambil ditunggui oleh suami saya. Ada pasien lain yang juga menunggu di sebelah saya, tetapi saking sakitnya kepala saya, saya tidak sanggup untuk menyapa. Sekitar setengah jam saya dan suami saya menunggu, lalu ada dokter yang memperkenalkan diri. Dr Adhi Teguh, spesialis menangani anak prematur, katanya. Kemudian ada dokter lain, yaitu dokter spesialis anestesi. Setelah menunggu saya dipanggil ke dalam ruang operasi, untuk dilakukan anestesi dulu. Saya disuntik di bagian punggung, setelah itu saya disuruh untuk tidur. Makin lama makin mati rasa, obatnya bekerja. Lalu suami saya dipanggil masuk. Semua sudah siap, suami saya sudah masuk, saya masih bisa bicara dan saya bilang ke dokter "Dok, berasa ada sesuatu ya di perut saya." Masih sedikit berasa waktu saya dibedah. Bukan terasa seperti terasa, hanya seperti ada benda menggores di perut saya, tapi tidak sakit. Lalu sepertinya obat bius yang diberikan bekerja pada saya. Rasanya mata saya ini tidak kuat dan akhirnya terpejam. Saya masih samar-samar dapat mendengarkan dan sedikit melihat saat anak saya diangkat dari perut saya dan menangis. Setelah itu yang saya tau saya terbangun setelah operasi dan menggigil kedinginan. Pemulihan setelah operasi ternyata lebih lama daripada operasi itu sendiri, sekitar 4 jam sedangkan operasinya hanya berkisar 15-30 menit, kata suami saya, berhubung saya setengah sadar saat operasi. Setelah pemulihan selesai baru saya di bawa ke kamar. Kata suami saya, anak kami tadi menangis, langsung diangkat oleh Dr Irham dan diberikan kepada Dr Adhi. Oleh Dr Adhi, anak saya yang menangis ditutup mulutnya, mungkin supaya menangisnya berhenti karena anak prematur jantungnya berbeda dengan anak lahir cukup bulan, Lalu anak saya langsung diletakkan di inkubator dan dipasang alat bantu pernafasan dan lain-lain. Anak saya kemudian langsung dibawa ke NICU dan suami saya ikut mengantarkan untuk mengadzani.
Setelah berada di kamar, rasanya masih ada beberapa bagian tubuh yang mati rasa, pengaruh anestesinya belum hilang. Saya masih dipakaikan kateter. Suster bilang, kalau besok saya sudah mampu untuk bangun, buang air sendiri, kateter akan di lepas dan saya boleh lihat anak saya di NICU. Hari ini harus pemulihan, jadi belum bisa lihat anak. Jadi saya berusaha sekuat tenaga untuk segera pulih, supaya besok bisa lihat anak saya. Malamnya, saya benar-benar tidak tidur, ga tau kenapa saya susah sekali tidur. Mungkin karena saking pengennya saya ketemu anak saya.
Saya dan suami setelah tindakan operasi (maaf ya muka ga kontrol hehe...)
17 Oktober 2017: I met him
Hari ini saya harus ketemu anak saya. Saya paksakan diri untuk berdiri, berjalan, tapi sebelumnya kateter harus di lepas. Saya bilang sama suster saya sudah lumayan kuat. Akhirnya dengan melihat kondisi saya yang bisa untuk lepas kateter, suster lepas kateter saya. Rasanya tidak sakit. Lalu saya mencoba berdiri, berjalan ke kamar mandi, masih sedikit berat, tapi saya sudah bisa bangun. Akhirnya saat jam besuk ruang NICU, jam 12 siang saya memakai kursi roda (kepala masih agak berat soalnya) saya dan suami melihat anak saya. Saya benar-benar memasang emotionless mode, supaya saya tidak sedih. Saya harus senang. Saya harus berfikiran positif, agar anak saya juga senang, agar dia bisa fokus untuk berjuang sehingga kami bisa segera pulang.
Saat saya lihat dia, masih ada alat bantu nafas yang dilepas karena anak saya sedang di sinar karena bilirubinnya yang tinggi. Minumnya masih pakai sonde. Karena ASI saya memang belum keluar, mau tidak mau harus pakai sufor. Saya pribadi tidak masalah selama memang untuk kebaikan anak saya. Saya ajak dia ngobrol, saya bilang di harus kuat, cepat besar ya supaya kita cepat pulang dan bisa main. Saya cuma bisa doakan dia dari luar inkubator. Semoga dia mengerti.
Yang paling saya ingat, saat Dr Irham visit hari ini, beliau mengatakan "Alhamdulillah Sar kita segera tindakan. Plasentanya udah putus, jadi beku. Kalau telat 2 jam tindakannya tidak akan seperti ini." Lagi-lagi dengan pembawaan dia yang tenang, sehingga saya juga tidak panik. Saya hanya bisa bersyukur sama Allah, terima kasih ya Allah Engkau percayakan anak yang kuat ini pada saya dan suami saya, terima kasih ya Allah telah berikan kami kesempatan untuk membesarkan anak yang hebat ini, terima kasih ya Allah atas rahmat dan karunia terbesarMu yang kau berikan pada kami. Tidak berhenti dari mulut dan pikiran saya untuk mengucap syukur sebanyak-banyaknya.
Anakku, Ramaditya Khedira Bagaskara, sesaat setelah dilahirkan dan masih menggunakan alat bantu pernafasan
Alat bantu pernafasan dilepas, disinar karena bilirubin tinggi
Kondisi setelah di sinar







No comments:
Post a Comment